News

Kualitas Starlink Merosot di Indonesia

Published

on

Lebih dari setahun Starlink masuk ke Indonesia tepatnya pada Mei 2024.  Pada saat itu bos Starlink Elon Musk berjanji untuk “membawa konektivitas ke tempat-tempat yang memiliki konektivitas rendah.” Namun, lebih dari setahun kemudian, gambarannya jauh lebih kompleks jika tidak mau dibilang gagal total.  Biang keroknya adalah kesalahan perhitungan pihak starlink terutama terhadap kondisi geografis di Indonesia.

Dalam laporan yang dirilis oleh Opensignal menyebutkan bahwa tantangan konektivitas di Indonesia lebih dari sekadar solusi tunggal. Sementara Pemerintah Indonesia mendorong agenda digitalisasi yang lebih luas, rendahnya penetrasi broadband dan sulitnya menghubungkan wilayah kepulauan yang luas masih menjadi kendala yang signifikan. Untuk menjembatani kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan, para pembuat kebijakan juga beralih ke teknologi alternatif seperti Fixed Wireless Access (FWA).

Apa yang diperhitungkan Starlink terhadap Indonesia sangat jauh meleset.  Starlink bisa saja sukses di Kanada mengungguli FWA di sebagian besar metrik, dengan hanya sedikit kelemahan pada Konsistensi Kualitas.  Namun pertanyaan kuncinya untuk Indonesia adalah: bagaimana Starlink dibandingkan dengan penawaran FWA yang tersedia di negara ini, dan apakah Starlink benar-benar dapat memenuhi janjinya untuk meningkatkan inklusi digital?

Mengenal Starlink Lebih Dekat

Dalam setahun terakhir, kecepatan Starlink bukan terus meningkat namun malah menurun drastis.  Kemacetan telah memangkas kecepatan Unduh Starlink hingga hampir dua pertiga dan unggahan hingga hampir setengahnya dalam waktu 12 bulan setelah peluncuran.  Jika dibandingkan dengan FWA, Starlink memimpin dalam hal kecepatan unduh , tetapi FWA menang dalam hal kecepatan unggah , konsistensi kualitas, dan pengalaman menggunakan video.

Awal mula “kehancuran” Starlink di Indonesia justru dimulai saat Starlink diluncurkan di Indonesia pada bulan Mei 2024.  Starlink membawa harapan bagi masyarakat yang berada di luar jangkauan jaringan fiber atau jaringan seluler dengan kecepatan sambungan yang cepat dan stabil. Dengan kecepatan awal unduh 42,0 Mbps dan unggah 10,5 Mbps, Starlink menawarkan alternatif yang kuat untuk koneksi nirkabel yang sudah ada.

Namun disinilah hukum ekonomi berlaku, dalam waktu satu tahun, penggunaan yang pesat membuat kapasitasnya tertekan.  Hal ini seperti jalan tol yang mulus dengan sedikit mobil yang melintas, pastilah mobil yang melintas kecepatannya akan sangat tinggi.  Namun ketika jumlah mobil yang melintas sangat banyak maka jangankan ngebut, bisa berjalan pelan saja sudah bersyukur.  Kini unduhan Starlink turun hampir dua pertiga, unggahan turun hampir setengahnya, dan skor pengalaman menggunakan video turun lima poin.

Beda Starlink dan Operator Seluler

Penyebabnya adalah kemacetan. Permintaan melonjak begitu cepat sehingga Starlink terpaksa menghentikan sementara pendaftar baru.  Ketika layanan dilanjutkan pada Juli 2025 pelanggan baru menghadapi “biaya lonjakan permintaan” yang sangat tinggi, mulai dari Rp8 juta hingga Rp9,4 juta (US$490-US$574), tergantung pada gatewaynya. Jumlah tersebut kira-kira tiga kali lipat dari upah bulanan rata-rata di Indonesia yang sebesar Rp3,09 juta (US$190). Dalam praktiknya, hal ini berarti konsumen yang berminat harus membayar biaya yang tinggi di muka atau menunggu hingga permintaan berkurang.

Meski di beberapa indikator Starlink menunjukkan tren negatif, namun konsistensi kualitas meningkat dari 24,2% menjadi 30,9% pada periode yang sama. Meskipun kecepatannya lebih lambat, peningkatan Starlink dari tahun ke tahun dalam metrik ini mencerminkan latensi yang lebih rendah dan peningkatan infrastruktur.

Starlink yang bisa digunakan dimana saja memang merupakan suatu keunggulan namun harga masih menjadi isu utama di Indonesia.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Developed by PT Meta Abadi Komunika (c) 2023