Connect with us

Coffee Break

Layanan Streaming Bagai Pisau Bermata Dua

Published

on

Sejak jaringan internet di Indonesia berkembang dan demain luas jangkauannya membuat layanan berbasis internet semaninha ramai menyerbu Indonesia termasuk layanan Video On Demand asing. Kehadiran penyedia layanan streaming yang kerap disebut sebagai Over The Top (OTT) ini memang memberikan banyak pilihan layanan yang menghibur pengguna internet di Indonesia. Jangkauan internet yang sudah mencapai hampir 100% penduduk Indonesia ini membuat semua bisa mengakses layanan internet termasuk di derah-daerah terpencil sekalipun.

Konten layanan OTT yang dihadirkan di Indonesia pun celakanya tak hanya menghibur namun juga berpotensi merusak moral bangsa. Hal ini karena banyaknya muatan yang merusak moral dalam konten yang ditayangkan seperti pornografi serta tetorisme maupun SARA. Hal ini menjadi dilema mengingat regulator belum membuat undang-undang yang mengatur OTT. Serta belum ada lembaga yang bisa melakukan sensor terhadap konten yang ditampilkan OTT termasuk Lembaga Sensor Film (LSF) maupun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

Saat berbincang secara tertulis dengan Noorca Massardi, Budayawan yang juga sebagai Anggota Lembaga Sensor Film Periode 2020-2024 terungkap bahwa LSF tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak memiliki payung hukum untuk mengontrol OTT. Lebih lanjut Noorca mengungkapkan “Belum menyiapkan regulasi untuk itu. Nah, sementara menunggu, lsf berinisiatif melakukan literasi ihwal budaya sensor mandiri dan berharap menjadi gerakan nasional, melalui pelbagai medsos milik lsf serta diskusi publik daring dan luring”.

Pihak LSF sudah ke Kemenkominfo dan pada selasa 16 maret 2021 kemarin sudah menyampaikan laporan kinerja 2020 sekalian menjelaskan soal itu (OTT). Saat rapat dengar pendapat dgn LSF di Komisi I DPR RI Nurul Arifin menjawab penjelasan LSF tersebut dengan mengajak masyarakat untuk melakukan sensor mandiri terhadap tontonan yang dihadirkan OTT yang juga diunggah dalam Instagram pribadinya. Artinya memang pemerintah dan legislator seperti tak berdaya dengan hadirnya konten-konten dari OTT yang banyak tak melalui sensor kecuali mereka secara sukarela meminta LSF untuk menyensor kontennya.

Sebagai seorang budayawan, Noorca menaruh perhatian yang sangat tinggi terhadap konten yang dihadirkan oleh OTT. “Kami optimistis melalui literasi sensor mandiri ini masyarakat lambat laun akan sadar pada dampak OTT yg akan menjadi budaya baru menonton film abad XXI krn semua lembaga / ormas / komunitas / universitas yg menjadi mitra LSF sangat concern dan mendukung penuh upaya LSF. Terutama populasi gadget sdh melebihi populasi bangsa dan teknologi informasi makin canggih serta internet bisa diakses hampir seluruh wni segala lapisan usia. semoga kampanye lsf: nemilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia ini didukung semua pihak” ungkap Noorca dalam jawaban tertulisnya melalui pesan singkat kepada Redaksi TPLUS Magazine.

Tak hanya LSF, Komisi Penyiaran Indonesia juga tak bisa berbuat apa-apa terhadap konten OTT yang banyak mengandung unser pronografi, LGBT dan juga kekerasan. Dikutip dari Bisnis.com, Selama ini KPI mengaku belum dapat bertindak banyak dalam menekan dan mengawasi konten yang tersedia di platform digital dari penyedia OTT asing lantaran regulasi yang belum memungkinkan.

Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Mulyo Hadi Purnomo menjelaskan saat ini pengawasan dan penindakan terhadap isi konten OTT asing masih dilakukan Ditjen Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo. “Kami sudah ingatkan Ditjen Aplikasi Informatika terhadap maraknya konten negatif di OTT asing. Namun entah kenapa sampai kini konten negatif itu masih ada. Mungkin karena belum ada aturan tegas yang dapat memaksa OTT asing tunduk terhadap regulasi di Indonesia,” katanya.

Masuknya beragam konten dari OTT memang memberikan kemudahan mengakses aneka hiburan ke depan kita. Namun kita juga harus bijaksana dalam menyikapinya terutama terhadap konten yang dapat membahayakan kita dan generasi bangsa. Jangan sampai OTT seperti pisau bermata dua, kita nikmati namun pengaruh negatif konten yang kita tonton tak sesuai dengan norma dan budaya kita.